Senin, 14 Maret 2016

Kualitas Air

Penuruan kualitas air akan menyebabkan terjadinya perubahan ekologi di perairan, dan memberikan pengaruh terhadap keanekaragama organisme yang hidup di dalamnya. Keanekaragaman spesies dapat dijadikan sebagai indicator kualitas air. Jika dalam suatu komunitas mempunyai keankeragaman yang rendah maka itu menjadi indikasi bahwa suatu perairan telah tercemar (Barus, 2007).
Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air diatur oleh pemerintah dalam PP No. 82 Tahun 2001 pasal 8 ayat (1). Pembagian kelas ini didasarkan pada peringkat (gradasi) tingkatan baiknya mutu air dan kemungkinan kegunaannya.

1.1  Parameter-Parameter Kualitas Air yang Penting Bagi Perikanan
1.2.1        Parameter Fisika
Factor fisika air merupakan faktor pembatas bagi organisme air, yaitu suhu, cahaya, konduktivitas, dan kecepatan arus (Suin, 2002). Beberapa factor fisika yang mungkin ikut menentukan kualitas air adalah kekeruhan (tuebiditas), warna, ketransparanan, suhu, kecepatan aliran dan volume aliran ( Sastrawijaya, 2000).
o   Suhu
Suhu dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman dari badan air. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu dapat mempengaruhi penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2, CO2, N2 dan CH4 (Haslam, 1995).
Suhu dapat mempengaruhi proses metabolisme organisme di perairan. Perubahan suhu yang mendadak atau suhu ekstrim akan mengganggu kehidupan organisme bahkan dpat menyebabkan kematian. Keniakan suhu sebesar 100 C (kisaran temperature yang masih ditolelir) akan meningkatkan laju metabolism organisme 2-3 kali lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisme akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, dengan meningkatnya temperature akan mengakibatkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan organimse air akan mengalami kesulitana dalam proses respirasi (Barus, 2004).
o   Penyerapan Cahaya oleh Air
Adanya penyerapan cahaya oleh air akan menyebabkan terjadinya lapisan air yang memiliki suhu berbeda. Menurut Goldman dan home (1989) lapisan air dibagi tiga yaitu epilimnion, merupakan lapisan hangat dengan kerapatan jenis air kurang. Hipolimnion yaitu lapisan yang lebih dingin dengan kerapatan jenis air kurang, dan metalimnion yaitu lapisan yang berada antara lapisan epilimnion dan hipolimnion. Pada daerah metalimnion terdapat lapisan termoklin, yaitu lapisan dimana suhu akan turun sekurang-kurangnya 10 C dalam setiap 1 meter.

1.2.2        Parameter Kimia
o   Derajat Keasaman (pH)
pH merupakan gambarana jumlah aktivitas ion hydrogen dalam perairan (Efendi, 2003). Organismem akuatik dapat hidup dalam suatu perairan dengan pH netral yang mempunyai kisaran toleransi antara asam lemah dan basa lemah. pH ideal berkisar antara 7-8.5. kondisi perairan yang sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme, karena menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik (Barus, 1997).  
o   DO (Disolve Oxygen)
Oksigen terlarut adalah gas oksigen yang terlarut dalam air. Sumber oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau aliran air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton (Novonty, 1994). Ketersediaan DO di dalam perairan akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan organisme air. Kandungan oksigen terlarut minimum 2 mg/l sudah cukup mendukung kehidupan organisme periaran secara normal (Wardana, 1995). Factor pembatas kepekatan oksigen terlarut bergantung pada suhu, tanaman fotosintesis, tingkat penetrasi cahaya, tingkat kederasan aliran air, dan jumlah bahan organic yang diuraikan dalam air (Sastrawijaya, 2000).
o   BOD (Biochemical Oxygen Demand)
BOD ialah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh organisme yang terdapat di dalamnya untuk bernafas selama lima hari. Status kualitas air berdasarkan nilai BOD yaitu nilai BOD < 2.5 ppm, status kualitas airnya tidak tercemar, 3.0-5.0 ppm tercemar ringan, 5.1-14.9 ppm tercemar sedang dan > 15 ppm tercemar berat (Lee et al., 1978).
o   COD (Chemical Oxygen Demand)
Merupakan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasai bahan organic secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun yang sukar didegradasi menjadi Co2 dan H2O
o   Senyaw-senyawa Nitrogen
Nitrogen di perairan terdapat dalam bentuk gas N2, NO2-, NO3-, NH3 dan NH4+ serta sejumlah N yang berikatan dalam bentuk organic kompleks. Status kualitas air berdasarkan kandung nitrat yaitu : kadar nitrat 1> 0.003 mg/l tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan, 0.003-0.014 mg/l tercemar sedang dan 0.014 > tercemar berat (Silalahi, Juliana, 2010). 

1.2.3        Parameter Biologi
o   Plankton
Merupakan jasad renik yang melayang di dalam perairan, tidak bergerak atau bergerak sedikit dan selalu mengikuti arus. Plankton dibagi menjadi fitoplankton dan zooplankton. Zooplankton umumnya bersifat fototaksis negative sehingga dapat hidup di lapisan periaran yang tidak terjangkau sinar matahari. Sedangkan fitoplankton mempunyai klorofil yang dapat membuat makanan sendiri dengan mengubah bahan anorganik menjadi bahan organic melalui proses fotosintesis. Fitoplankton hidup pada lapisan perairan yang masih terdapat sinar matahari sampai pada suatu lapisan yang disebut garis kompensasi.
o   Alga
Merupakan organisme autotrof yang tidak memiliki akar, batang, dan daun. Terdiri dari alga hijau (Chlorophyta), alga merah (Rhodophyceae), alga coklat (Phaeophyceae), alga pirang (Xhantophyceae), alga keemasan (Chrysophyceae) dan alga biru hijau (Cyanobacteria).  
o   Tanaman Air
Berdasrkan cara hidupnya di dalam ekosistem, tanaman air dikelompokkan ke dalam tiga jenis yaitu mengapung, melayang dan timbul. Pengaruh negative tanaman air yaitu mengakibatkan penguapan air yang lebih besar karena dengan adanya tanaman air maka seolah-olah luas permukaan air akan menjadi lebih besar. Penguapan air semakin lebih besar terjadi jika pada perairan tersebut banyak tumbuh tanaman berdaun lebar, menyebabkan terjadinya pendangkalan perairan sebagai akibat dari tanaman air yang mati dan tenggelam ke dasar yang mengakibatkan peningkatan dasar periaran. Jika tamnaman air yang mait relative banyak, maka akan terjadi pembongkaran tanaman tersebut oleh bakteri yang mengakibatkan penurunan O2 terlarut. Hasil perombakan adalah munculnya gas CO2 yang bersifat racun bagi organisem dan akan menurunkan pH air. Jika tanaman semakin tinggi maka respirasi tanaman pada malam hari di dalam air menyebabkan defisiensi O2.   
o   Bentos
Merupakan organisme yang hidup baik di lapisan atas dasar periaran (epifauna) maupun di dalam dasar perairan (infauna) dan dapat menjadi pakan alami bagi ikan atau sebaliknya apabila dalam jumlah banyak menjadi penyaing atau predator bagi ikan.


1.2  Dampak Amonia Bagi Perikanan

Ammonia merupakan hasil akhir metabolisme protein, akan tetapi ammonia dalam bentuk yang tidak terionisasi (NH3) merupakan racun bgi ikan sekalipun pada konsentrasi yang sangat rendah (Zonneveld, et al., 1991). Ammonia mempunyai efek yang sangat serius terhadap kemampuan ikan dalam mengambil oksigen. Kandungan NH3 dalam air yang tinggi secara langsung dapat membunuh organisme perairan dengan mempengaruhi sitolema, mengurangi konsentrasi ion dalam tubuh, konsumsi oksigen oleh jaringan meningkat, merusak jaringan insang dan mengurangi kemampuan darah untuk mengangkut oksigen. Pada konsentrasi sub-lethal dapat mengakibatkan perubahan histologis pada ginjal, limfa, kelenjar tiroid dan darah yang menyebabkan pertumbuhan menurun dan mudah terserang penyakit (Colt dan Amstrong dalam Boyd 1982). 

Daftar Istilah dalam Bidang Penagkapan Ikan


A
¤       Auxiliary engine : mesin bantu
C
¤       Common property : milik bersama
D
¤       Draft : jarak vertikal yang diukur dari sisi bawah lunas ke garis air (WL)
E
¤       Encircling gear ; alat tangkap yang dilingkarkan
F
¤       Fishing ground : daerah penangkapan ikan
G
¤       Gear : alat tangkap
H
¤       Hauling : pengangkatan jaring
¤       Horse power (HP) : tenaga kuda
L
¤       Large scale fishing : nelayan skala besar
M
¤       Main engine : mesin induk
¤       Manouverability : olah gerak
¤       Maximum sustainable yield (MSY) : tangkapan ikan sama dengan pertumbuhan alami stok ikan yang tetap tidak berubah selama upaya (effort) juga tetap (Sutanto 2005)
¤       Mesh size : Panjang mata jaring (SNI 08-3145-1992)
N
¤       Net hauler : mesin penarik ssebagai alat bantu dalam proses penangkapan ikan
O
¤       Open access : bersifat terbuka
P
¤       Propulsion engine : mesin penggerak
R
¤       Renewable : sumberdaya yang dapat dipulihkan
S
¤       Schooling : bergerombol
¤       Seaworthiness : kelaiklautan
¤       Setting : penurunan jaring
¤       Sinker : pemberat
¤       Small scale fishing : nelayan skala kecil
¤       Static gear : alat tangkap yang dioperasikan secara pasif
T
¤       Towed gear : alat tangkap yang ditarik
W

¤       Water plan area : luasan bidang garis air 

Minggu, 06 Maret 2016

Deskripsi Ikan Nila Merah (Oreocromis niloticus)

Ikan nila merah merupakan ikan air tawar yang mempunyai daging berwarna putih dan rasanya enak sehingga banyak digunakan sebagai bahan makanan dengan kandungan lemak rendah (Dewi dan Ibrahim 2008). Ikan nila umumnya mempunyai bentuk tubuh yang panjang dan ramping. Sisik ikan nilaberukuran besar dan kasar, berjari sirip keras, sirip perut torasik, letak mulut sub terminal dan berbentuk meruncing. Warna tubuhnya hitam agak keputihan. Bagian bawah tutup insang berwarna putih. Memiliki garis linea lateralis yang yang terputus antara bagian atas dan bawahnya. Ukuran kepalanya relative kecil dengan mulut berada di ujung kepala serta mempunyai mata yang besar (Merantica 2007).

Klasifikasi ikan nila yaitu (Saanin 1982 diacu dalam Purnomo 2013):

Kingdom : Animalia
            Filum : Cordata
                        Kelas : Pisces
                                    Ordo : Percormorphii
                                                Family : Cichlidae
                                                            Genus : Oreochromis

Spesies : Oreocromis niloticus   

Deskripsi Ikan Belida (Chitala lopis)


Ikan belida atau ikan lopis merupakan jenis ikan sungai yang tergolong dalam suku ikan yang berpunggung pisau. Ikan belida diambil dari nama salah satu sungai di Sumatera Selatan yang menjadi habitatnya. Ikan ini merupakan bahan baku untuk sejenis kerupuk khas dari Palembang yang dikenal sebagai kemplang. Dulu lopis juga dipakai untuk pembuatan pempek. Tampilannya yang unik juga membuatnya dipelihara di akuarium sebagai ikan hias (Wikipedia 2013).

Klasifikasi ilmiah ikan belida menurut Bleeker (1851) diacu dalam Wikipedia (2013) adalah sebagai berikut :

Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Osteoglossiformes
Family : Notopteridae
Genus : Chitala
Spesies : Chitala lopis

Jumat, 25 September 2015

Mengenal Alat Tangkap Jaring Rampus (Bottom Gillnet)

Definisi Perikanan
Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan (SNI 2008). Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang perikanan mendeskripsikan bahwa perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan

Deskripsi Alat Tangkap Jaring Gillnet
Gillnet ialah jaring yang berbentuk empat persegi panjang, mempunyai mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh jaring, lebar lebih pendek jika dibandingkan dengan panjangnya. Dengan kata lain, jumlah mesh depth lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah mesh size pada arah panjang jaring (Ayodhyoa 1981 diacu dalam Sudirman dan Mallawa 2004). 
Martasuganda (2004) diacu dalam Ghandi (2010) mendeskripsikan gillnet merupakan salah satu jenis alat penangkap ikan dari bahan jaring monofilamen atau multifilamen yang dibentuk menjadi empat persegi panjang, kemudian pada bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pelampung (floats) dan pada bagian bawahnya dilengkapi dengan beberapa pemberat (sinkers) sehingga dengan adanya gaya yang berlawanan memungkinkan jaring insang dapat dipasang di daerah penangkapan dalam keadaan tegak menghadang biota perairan.   
Gillnet atau sering disebut juga dengan jaring insang adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang dilengkapi dengan pelampung, pemberat, tali ris atas dan tali ris bawah atau tanpa tali ris bawah untuk menghadang ikan sehingga ikan tertangkap dengan cara terjerat dan atau terpuntal dioperasikan di permukaan, pertengahan dan dasar secara menetap, hanyut dan melingkar dengan tujuan menangkap ikan pelagis dan demersal (SNI 2008).

Jenis-jenis jaring insang berdasarkan cara pengoperasiannya terdiri dari jaring insang tetap, jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, jaring insang berpancang, jaring insang tiga lapis dan jaring kombinasi (SNI 2008b).
1.      Jaring insang tetap (set gill net) yaitu jaring insang yang dilengkapi jangkar, di operasikan secara menetap di suatu perairan.
2.      Jaring insang hanyut (drift gill net) merupakan jaring insang yang memiliki daya apung lebih besar dari daya tenggelamnya yang dioperasikan dengan cara dihanyutkan di suatu perairan.
3.      Jaring insang lingkar (encircling gill net) cara pengoperasiannya melingkari gerombolan ikan dengan atau tanpa bantuan kejutan.
4.      Jaring insang berpancang (stationary gill net) adalah jaring insang yang pengoperasiannya diikatkan pada pancang-pancang yang di tanam di dasar perairan.
5.      Jaring insang tiga lapis (trammel net) yaitu jaring insang yang terdiri dari satu lapis jaring sebelah dalam bermata jaring lebih kecil dan dua lapis jaring luar bermata jaring lebih besar.
6.      Jaring insang kombinasi (combine gill net) yaitu jaring insang yang terdiri dari kombinasi bahan, ukuran mata jaring dan jumlah lapis jaring.

Deskripsi Alat Tangkap Jaring Rampus

Jaring rampus adalah jaring insang (gillnet) yang dioperasikan di dasar perairan (Ayodhyoa 1981 diacu dalam Abidin 2000). Jaring rampus yang dioperasikan di dasar perairan dalam klasifikasi alat tangkap termasuk kedalam jaring insang dasar (Nomura dan Yamazaki 1975 diacu dalam Abidin 2000). Jaring rampus berbentuk 4 persegi panjang memiliki ukuran mata sama pada seluruh badan jaring. Bagian atas jaring dipasang pelampung dan bagian bawah dipasang pemberat dengan perimbangan dua gaya yang berlawanan antara pelampung dan pemberat serta berat jaring itu sendiri, maka jaring akan terentang dalam air (Ayodhyoa 1981 diacu dalam Abidin 2000). Bahan jaring polyamide (PA) monofilamen seperti halnya jaring insang lain. PA monofilamen memiliki kelenturan yang tinggi dibandingkan PA multifilamen untuk ukuran yang sama (Nomura dan Yamazaki 1975 diacu dalam Abidin 2000).


Metode Pengoperasian Jaring Rampus
Dalam sutau rangkaian usaha penangkapan jaring rampus terdapat lima kegiatan  utama. kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan persiapan di darat, kegiatan melaut atau navigasi menuju daerah penangkapan, penempatan jaring dalam kolom perairan atau setting, perendaman jaring dan pengangkatan jaring insang dan hasil tangkapannya. Dalam kegiatan persiapan di darat, hal-hal yang dipersiapkan diantaranya perbaikan jaring, pengecekan kapal dan mesin kapal serta persiapan perbekalan bahan bakar. Tahap kedua yaitu tahap navigasi atau melaut, tahap ini dilakukan dengan mencari daerah penangkapan jarring rampus. Penangkapan dengan jaring rampus baisanya meninggalkan pelabuhan asal pada pagi hari sekitar pukul 03.00 WIB. Tahap ketiga yaitu setting dengan melakukan penebaran jaring di daerah penangkapan ikan. Penebaran jaring diawali denga melepas pelampung tanda dan diikuti dengan pelemparan pemberat yang dilakukan oleh 2-3 orang nelayan dengan kecepatan perahu sekitar 0.5 knot. Lama waktu kegiatan ini adalah 0.5-1 jam. Setelah jaring ditebar, bagian tali ris atas tetap terikat di perahu. Tahap keempat adalah tahap drifting. Pada tahp ini perahu dan alat tangkap akan hanyut mengikuti arus selama 2-3 jam dalam kondisi mesin perahu dimatikan. Setelah ikan terjaring, barulah jaring diangkat. Tahap terakhir yaitu kegiatan hauling atau pengangkatan jaring. Metode pengangkatan jaring yang dilakukan nelayan tanpa menggunakan alat bantu artinya diangkat dengan menggunakan tenaga manusia sehingga waktu yang dibutuhkan pada tahap ini  adalah 1-2 jam. Pada saat hauling mesin perahu dihidupkan kembali dan kapal berjalan dengan kecepatan 0.5 knot sambil dilakukan pengangkatan badan jaring oleh 2-3 orang nelayan. Pada saat badan jaring naik ke atas deck 1 orang nelayan melakukan pemisahan ikan. Lalu ikan tersebut disimpan di tempat penyimpanan ikan (Agustono 2007). 
      
Hasil Tangkapan Jaring Rampus
Direktorat Jenderal perikanan (1994) diacu dalam Hizaz (2011) menyatakan bahwa hasil tangkapan utama jaring rampus adalah jenis-jenis ikan demersal dan selebihmya ikan-ikan pelagis kecil. Ikan demersal yang dominan antara lain adalah tiga jawa (Johnius spp.), gulamah (Pseudociana spp.), kuwe (Caranx spp.), layang (Decaperus spp.), dan kuro (Polynemus spp.). adapun ikan pelagis yang biasa tertangkap adalah selar bentong (Selaroides crumenopthalmus), japuh (Sardinella spp.), lemuru (Sardinella sirm) dan tenggiri (Scomberomerous spp.).   

Cara Tertangkapnya Ikan
Sparre dan Venema (1992) diacu dalam Abidin (2000) menjelaskan ada empat cara ikan tertangkap, yaitu terjerat karena tutup insang tersangkut mata jaring atau mata jaring mengelilingi ikan di belakang tutup insang (gilled), badan terjerat oleh mata jaring sejauh sirip punggung (wedged), terjerat pada bagian kepala atau mata jaring mengelilingi ikan di belakang mata (snagged) dan ikan terbelit akibat bagian tubuh yang menonjol (gigi, rahang, sirip) tanpa harus menerobos mata jaring (entangled). Secara umum tertangkapnya ikan karena tiga cara pertama dipengaruhi oleh ukuran mata jaring dan cara tertangkap yang terakhir dipengaruhi oleh hanging ratio dibandingkan dengan yang lain.


Rabu, 23 September 2015

Tugas Diver (Surimi: Stick Ikan)

2.1  Daging Lumat
Surimi atau daging lumat sampai saat ini merupakan produk hasil olahan ikan yang masih asing di Indonesia dan bahkan sangat sukar untuk mendapatkannya di pasaran. Lumatan daging dibuat dari daging ikan giling yang telah diekstraksi dengan air dan diberi bahan antidenaturasi. Keuntungan menggunkan daging lumat dibandingkan dengan ikan segar adalah dapat menjaga mutu agar seragam dan mempercepat pengolahan (Anonim 2010).

2.2  Stick Ikan
Stick adalah salah satu makanan ringan (makanan camilan) yang digoreng dengan rasa asin atau gurih, teksturnya keras dan renyah, berbentuk batang panjang dan mengembang dengan warna kuning kecokelatan (Oktavianingsih 2009). 
Stick ikan merupaka salah satu bentuk diversifikasi ikan yang dibuat dari potongan daging ikan tanpa tulang (scribd.com). Pada umumnya semua jenis ikan dapat dibuat stick ikan. Jenis ikan yang sering dibuat stick ikan adalah kakap dan tenggiri (Setiavani G. 2011). 

2.3  Bahan Tambahan Stick Ikan
1.3.1        Bahan pengisi
            Bahan pengisi merupakan bahan bukan daging yang biasa ditambahkan. Adapun tujuan bahan pengisi bertujuan untuk mengurangi biaya produksi, meningkatkan cita rasa dan memperkecil penyusutan selama proses pemasakan (Kramlich et al 1971 diacu dalam Astuti E.F. 2009). Bahan pengisi yang digunakan yaitu tapioka dan terigu.
a.       Tepung terigu
Tepung terigu adalah tepung yang diperoleh dengan jalan menggiling biji-biji gandum yang sehat dan telah dibersihkan (Deperind 1974 diacu dalam Haryanti 2009). Komposisi zat gizi tepung terigu yaitu (1) Energi (min) 340 kal, (2) Air (maks) 14,5 gram, (3) Protein 11 gram, (4) abu 0,5 gram, (5) karbohidrat (min) 72 gram, (6) lemak nabati 0,9 gram, (7) kalsium 13 gram dan (8) Zar besi 6 gram.
b.      Tepung tapioka
Tepung tapika merupakan hasil ekstraksi pati ubi kayu (Manihot esculenta crantz) yang mengalami pencucian sempurna dan dilanjutkan dengan pengeringan. Komponen utama dari tapioka adalah pati yang merupakan senyawa yang tidak mempunyai rasa dan bau, sehingga memodifikasi rasa tepung tapioka mudah dilakukan (Haris 2001 diacu dalam Haryanti 2009).
1.3.2        Bumbu-bumbu
a.       Telur
Telur merupakan salah satu bahan pangan yang paling lengkap gizinya. Bahan ini mengandung protein sekitar 13% dan lemak 12%, juga mengandung 10 macam asam amino esensial dari 18 macam asam amino yang ada. Telur mengandung mineral (fosfor, besi dan kalsium) dan vitamin B kompleks serta vitamin A dalam jumlah cukup serta karbohidrat dalam jumlah sedikit sekali (Sarwono 1994 diacu dalam Astuti E.F. 2009).
b.      Mentega
Mentega merupakan emulsi air dalam minyak dengan persyaratan mengandung tidak kurang dari 80% lemak. Lemak yang digunakan dapat berasal dari lemak hewani atau nabati (Haryanti 2009).
c.       MSG
MSG merupakan bahan tambahan pangan yang digunakan dalam makanan untuk meningkatkan cita rasa (Anonim 2010). 
d.      Minyak sayur

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Surimi dan Kamaboko. Tekno Pangan & Agroindustri, Volume 1 No. 3. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. 5 hlm.

Astuti E.F. 2009. Pengaruh Jenis Tepung dan Cara Pemasakan Terhadap Mutu Bakso dari Surimi Ikan Hasil Tangkapan Sampingan (HTS) [Skipsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 130 hlm.

[Deperind] Departemen Perindustrian Indonesia, Standar Industri Indonesia. 1974. Mutu dan Cara Uji Terigu.

Haris H. 2001. Kemungkinan Penggunaan Edible Film dari Pati Tapioka. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesai.3:99-106.  

Haryanti. 2009. Pembuatan Makanan Camilan (Fish Stick) dari Ikan Patin (Pangasius hyphopthalmus) Sega Salah Satu Upaya Diversifikasi Produk Hasil Perikanan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 80 hlm.
                        
Kramlich Am, Harson, Tauber FM. 1971. Processed Meat. Westport Connecticut: The A VI Publishing Co Inc.

Muharsikah

Oktavianingsih Y. 2009. Pengaruh Fortifikasi Tepung Rumput Laut Eucheuma cottonii pada Stick Ikan Kuniran (Upeneus sp.) [Abstrak]. 1 hlm. 

Sarwono B. 1994. Pengawetan dan Pemanfaatan Telur. Jakarta: Penebar Swadaya. 

Setiavani G. 2011. Inovasi Hasil Olahan Perikanan dan Kelautan. Sekolah Tinggi Perikanan. 3 hlm.  

Website :
http://www.scribd.com/doc/28490502/fish-stick (Diakses pada tanggal 17 November 2013).



 v

Laporan Gizi Ikan (Pembuatan Pengawet Alami dari Ekstrak Daun Sirsak Terhadap Mutu Fillet Ikan Lele

PEMBUATAN PENGAWET ALAMI DARI EKSTRAK DAUN SIRSAK TERHADAP MUTU FILLET IKAN LELE  (Clarias batracus)

Mumun Munawati  (4443103380)

Jurusan Perikanan, Fakultas pertanian, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

ABSTRAK
Ikan lele (Clarias batracus) merupakan jenis ikan air tawar yang memiliki sumber protein hewani yang banyak di konsumsi masyarakat, mudah di dapat dan harganya murah, namun cepat mengalami proses kemunduran mutu ikan karena bersifat perishable food. Oleh karena itu dilakukan praktikum mengenai pembuatan pengawet alami dari ekstrak daun sirsak terhadap mutu fillet ikan lele (Clarias batracus). Bahan yang digunakan yaitu ikan lele (Clarias batracus), ekstrak daun sirsak dan aquades. Dilakukan 4 perlakuan, yaitu perlakuan 1:6 (167 gram/1L aquades), 1:7 (143 gram/1L aquades), 1:8 (125 gram/1L aquades) dan control. Tujuan praktikum untuk mengetahui metode dalam pembuatan pengawet alami dari ekstrak daun sirsak dan untuk mengetahui perlakuan terbaik dalam pembuatan pengawet alami dengan menggunakan ekstrak daun sirsak terhadap fillet ikan lele (Clarias batracus).

Kata kunci : Ekstrak daun sirsak, fillet ikan lele (Clarias batracus), pengawet alami

1.      PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Ikan lele (Clarias batracus) merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat, mudah di dapat dan harganya murah. Namun ikan cepat mengalami proses pembusukan karena besrifat perishable food (Sri Hastuti, 2010). Oleh karena itu, pengawetan ikan perlu diketahui, salah satunya yaitu dengan cara menggunakan pengawet alami. Pengawetan ikan dengan menggunakan pengawet alami betujuan untuk mengurangi kadar air di dalam tubuh ikan agar ikan tidak cepat mengalami pembusukan (Suhartini dan Hidayat, 2005).
Cara pengawetan ini merupaka usaha yang paling mudah dalam menyelamatakan mutu ikan, karena proses pembusukan dapat dihambat sehingga ikan dapat disimpan lebih lama (Afrianto dan Liviawaty, 1989). Umumnya pengawetan ikan dilakukan dengan mennggunakan penggaraman dan penjemuran. Untuk memperoleh mutu ikan yang berkualitas, tidak cukup dengan menggunakan garam dapur saja, tetapi mungkin diperlukan tambahan pengawet dari bahan alami yang bersifat sebagai antioksidan, memudahkan penguapan air, serta mencegah pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme (Nursinah Amir, 2004). Dalam hal ini ekstrak daun sirsak diindikasi dapat dijadikan sebagai bahan pengawet alami dalam meningkatkan mutu fillet ikan lele (Clarias batracus).
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui metode dalam pembuatan pengawet alami dari ekstrak daun sirsak dan untuk mengetahui perlakuan terbaik dalam pembuatan pengawet alami dengan menggunakan ekstrak daun sirsak terhadap fillet ikan lele (Clarias batracus).

1.2  Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui metode dalam pembuatan pengawet alami dari ekstrak daun sirsak terhadap mutu fillet ikan lele (Clarias batracus)  dan untuk mengetahui perlakuan terbaik dalam pembuatan pengawet alami dengan menggunakan ekstrak daun sirsak terhadap fillet ikan lele (Clarias batracus).

2.      TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Deskripsi Ikan Lele (Clarias batracus)
Ikan Lele (Clarias batracus) adalah marga (genus) ikan yang hidup di air tawar. Ikan ini mempunyai ciri khas dengan tubuhnya yang licin, tidak bersisik, dengan sirip punggung dan sirip anus yang juga panjang terkadang menyatu dengan sirip ekor, menjadikannya nampak seperti sidat yang pendek. Kepalanya keras menulang di bagian atas, dengan mata yang kecil dan mulut lebar terletak di ujung moncong, dilengkapi dengan empat pasang sungut peraba (barbels) yang amat berguna untuk bergerak di air yang gelap. Lele juga memiliki alat pernafasan tambahan berupa modifikasi dari busur insangnya. Terdapat sepasang patil, yakni duri tulang yang tajam, pada sirip-sirip dadanya. Bentuknya agak pipih memanjang serta mimiliki sejenis kumis yang panjang, mencuat dari sekitar bagian mulutnya (Suyanto, SR., 1991).
Suyanto, SR. (1991), lele secara ilmiah terdiri dari banyak spesies. Sedikitnya terdapat 55 spesies (jenis) ikan lele di seluruh dunia, antara lain ikan kalang (Sumatra Barat), ikan maut (Gayo dan Aceh), ikan pintet (Kalimantan Selatan), ikan keling (Makassar), ikan cepi (Sulawesi Selatan), ikan lele atau lindi (Jawa Tengah) atau ikan keli (Malaysia).
Negara-negara lain, ikan lele dikenal dengan nama mali (Afrika), plamond (Thailand) dan gura magura (Srilangka). Dalam bahasa Inggris disebut pula catfish, siluroid, mudfish dan walking catfish. Nama ilmiahnya Clarias batracus, berasal dari bahasa Yunani chlaros, yang berarti ‘lincah’, ‘kuat’, merujuk pada kemampuannya untuk tetap hidup dan bergerak di luar air. Scopoli ( 1777), klasifikasi ikan lele yaitu : Kerajaan (Animalia), Filum (Chordata), Kelas (Actinopterygii), Ordo (Siluriformes), Famili (Clariidae), Genus (Clarias), dan Spesies (Clarias batracus).
2.2  Fillet Ikan
Fillet daging adalah suatu irisan daging ikan tanpa tulang. Fillet dapat dikategorikan menurut bahan bakunya, yaitu fillet yang berasal dari ikan ekonomis seperti salmon, kakap merah (Lutjanus sp.), kerapu (Serranidae) dan sebagainya, dan jenis fillet ikan dari jenis non ekonomis, yaiut kurisi (Nemiperus nematophorus), swanggi (Priyachantus tayenus), biji nagka/kuniran (Upeneus sulphureus), pisang-pisang (Caesio chyrisozomus), pepetek (Leighnatus sp.) dan sebagainya (Pola Pembiayaan Usaha Kecil (PPUK), 2008).
Cara pembuatan fillet ikan yang umum yaitu ikan diletakkan di atas meja/talenan, bagian bawah insang diiris melintang sampai menyentuh tulang belakang. Daging diiris dari arah sayatan tadi mengarah ke ekor. Mata pisau diusahakan menyentuh tulang belakang dan tulang perut rusuk yang membatasi badan dengan rongga perut tidak terpotong pada waktu penyayatan, tapi tidak sampai melukainya. Ikan dibalikkan dan prosedur seperti di atas diulangi. Irisan yang diperoleh tersebut disebut dengan fillet (Pola Pembiayaan Usaha Kecil (PPUK), 2008). Fillet ikan terdiri dari ikan tanpa kepala dan ekor (head and tail less), fillet yang belum dikuliti (skin on), fillet yang suddah dikuliti (skin less) dan breaded fillet (Th. Dwi Suryaningrum, 2008).
2.3  Pengawet Alami (Daun Sirsak)
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih dan menggunakan bahan pengawet yaitu sifat kimia dan antibakteri dari bahan pengawet tersebut, sifat dan komposisi bahan pangan, jenis dan jumlah mikroorganisme yang terdapat pada bahan pangan, kepastian bahwa bahan pengawet tersebut tidak merugikan kualitas produk, ekonomis, dan yang terpenting  adalah keamanannya (Hengky K. Martin, 2010).
Salah satu bahan pengawet alami yang aman dan secara efektif mampu mengawetkan ikan segar melalui prinsip-prinsip biologis adalah ekstrak daun sirsak. Dalam pembuatan ekstrak daun sirsak, pertama daun sirsak dicuci, dilakukan penimbangan daun sirsak dan aquades 1 liter. Diblender, kemudian dilakukan pengisian ke dalam Erlenmeyer dan penutupan dengan aluminium foil. Dilakukan perebusan dengan penangas air pada suhu 1000 C selama 1 jam. Lakukan pendinginan dan penyaringan sehingga membentuk ekstrak daun sirsak . simpan pada suhu dingin.

3.      METODOLOGI
3.1  Waktu dan Tempat
Praktikum dilaksanakan hari Rabu, 10 April 2013 pukul 09.00 WIB di Laboratorium Teknologi Pengolahan Hasil Perairan (TPHP). Dilaksanakan oleh Kelas A Smester VI Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian. Didampingi Dosen Pengampu Mata Kuliah Gizi Ikan dan Para Asisten Laboratorium.

3.2  Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu : baskom, pisau, nampan, mangkuk, timbangan digital, talenan, erlenmeyer, gelas ukur dan skorsheet.  Sedangkan bahan yang digunakan yaitu: Ikan lele (Clarias batracus), ekstrak daun sirsak dan aquades

3.3  Prosedur Kerja
Langkah kerja dalam praktikum ini pertama-tama membuat ekstrak daun sirsak, dimana daun sirsak dicuci, kemudian dilakukan penimbangan daun sirsak dan aquades 1 liter dengan menggunakan 4 perlakuan. Perlakuan 1, perbandingan daun sirsak dan aquades 1:6 (167 gram/1 L aquades), perlakuan 2, 1:7 (143 gram/1 L aquades), perlakuan 3 1:8 (125 gram/1 L aquades) dan control.  Daun sirsak diblender, kemudian dilakukan pengisian ke dalam Erlenmeyer dan penutupan dengan aluminium foil. Selanjutnya dilakukan perenusan dengan penangas air pada suhu 1000 C selama 1 jam. Setelah itu dilakukan pendinginan dan penyaringan, sehingga membentuk ekstrak daun sirsak . simpan pada suhu dingin.
Setelah dilakukan pembuatan ekstrak daun sirsak, langkah selanjutnya yaitu pemberian ekstrak daun sirsak pada fillet ikan lele (Clarias batracus). Ikan lele dicuci lalu dibuat fillet. Setelah itu ikan ditimbang, kemudian diberi ekstrak daun sirsak dengan perlakuan yang telah ditentukan. Lakukan perendaman selama 15 menit. Setelah itu lakukan pengamatan mutu (lendir, bau, tekstur dan penampakan). Pengamatan mutu organoleptik dilakukan setiap 1 jam sekali sampai ikan tersebut membusuk.

3        KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kemampuan ekstrak daun sirsak dalam memperpanjang masa simpan ikan pada suhu ruang dipengaruhi oleh beberapa factor, seperti (1) Lamanya waktu perendaman dalam larutan ekstrak daun sirsak, dan (2) Penggunaan konsentrasi ekstrak daun sirsak.
Penggunaan ekstrak daun sirsak dengan konsentrasi 1:6 (167 gram/1L aquades) dengan lama perendaman 45 menit pada fillet ikan lele (Clarias batracus) akan menghasilkan masa simpan yang lebih lama dibandingkan dengan control atau pengawetan ikan dengan konsentrasi 1:7 (143 gram/1L aquades) dan konsentrasi 1:8 (125 gram/1L aquades).

Saran
Praktikum dalam pembuatan pengawet alami dari ekstrak daun sirsak dalam melakukan pengolahan data kurang akurat, karena keterbatasan praktikan dalam mengolah data.





DAFTAR PUSTAKA

Afrianto E dan E. Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengoalahan Ikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hengky K. Martin. 2010. Pengawet Alami Ikan yang Murah dan Efisien Melalui Fermentasi Sealada. Universitas Padjajaran. Wordpress.com. Diakses pada tangggal 27 April 2013.  
Nursinah Amir. 2004. Peningkatan Daya Tahan dan Mutu Produk Ikan Kembung Perempuan (Rastrelliger bracysoma) Asin Kering Melalui Penggunaan Bumbu. Universitas Hasanuddin: 16 hal. 
Pola Pembiayaan Usaha Kecil (PPUK). 2008. [Skripsi] Fillet Ikan. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM dengan Bank Indonesia : 66 hal.
Sri Hastuti. 2010. [jurnal] Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Formaldehid pada Ikan Asin di Madura. AGROINTEK Vol. 4, No. 2 Agustus 2010. Universitas Trunojoyo.
Suhartini S. dan N. Hidayat. 2005. Olahan Ikan Segar. Surabaya : Penerbit Trubus Agrisarana.   
Suyanto, SR. 1991. Budidaya Ikan Lele. Penebar Swadaya : Jakarta.
Th. Dwi Suryaningrum. 2008. Ikan Patin : Peluang Ekspor, Penanganan Pasca Panen dan Diversifikasi Produk Olahannya. Squalen Vol. 3 No. 1 Juni 2008. Balai Besar Riset Pengolahan Produk Bioteknologi Kelautan dan Perikanan: 8 hal.

Website :
id.wikipedia.org/wiki/Lele. Diakses pada tanggal 27 April 2013.